• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
14 Mar

Altruisme Patologis: Saat Kepedulian yang Berlebihan Justru Melahirkan Luka Batin

by Rifqa Amalia Azzyati, S.Psi.

Halo, Socconians.

Bertemu lagi dengan Social Connect. Kali ini kami akan membahas mengenai satu problem yang umum terjadi pada banyak orang, tetapi cenderung sulit disadari.

Sebagai manusia kita disebut sebagai makhluk sosial yang berarti pada tiap aspek kehidupan, kita membutuhkan satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan. Dalam interaksi dengan sesama manusia, tentunya melibatkan bermacam perasaan dan emosi. Seperti ketika ada seseorang yang berada dalam kesulitan, secara naluriah akan muncul pikiran untuk menolongnya demi meringankan beban dan berbagi emosi.

Pernahkah terbesit dalam benak Socconians untuk menolong seorang pengemis di jalan saat melihatnya di jalan pulang? Atau terbesit keinginan untuk menghibur teman saat dia merasa sedih? Atau yang paling sederhana, seperti menyingkirkan paku di jalan karena khawatir akan mencelakai orang lain?

Dalam istilah psikologis, salah satu bentuk kepedulian kepada orang lain dengan cara menolongnya disebut sebagai altruisme. Akan tetapi, apa sih sebenarnya altruisme itu? Apa dampaknya bagi kehidupan manusia? Dan apakah sikap mementingkan kesejahteraan orang lain selalu memberikan dampak baik? Mari kita simak penjelasannya!

Apa itu Altruisme?

Menurut Arifin (2015) altruisme adalah suatu kondisi ketika seseorang memperhatikan kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri, murni tanpa mengharapkan ganjaran atau keuntungan. Banyak orang menyebutnya sebagai kebalikan dari sikap egois karena sikap ini lebih mementingkan kesejahteraan orang lain daripada diri sendiri. Sikap menolong ini akan memberikan rasa bahagia pada individu karena adanya perasaan mampu untuk menempatkan diri pada keadaan emosi orang lain.

Altruisme dapat muncul sebagai pikiran sesaat, tetapi jika sudah sering dilakukan maka sikap ini dapat tumbuh menjadi cara atau nilai hidup seseorang. Sikap altruisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni empati, suasana hati, perasaan welas asih, lingkungan sosial, faktor situasional, dan motivasi. Seseorang dengan kepedulian yang tinggi akan cenderung mudah untuk berempati, merasa bersyukur atas kondisinya, serta diiringi perasaan puas dan bermakna untuk diri sendiri maupun orang lain (McCullough, Emmons & Tsang, 2004).

Sikap altruisme juga merupakan perilaku yang penting dalam mempertahankan kerekatan dan ikatan dalam keluarga dan di dalam masyarakat, sikap ini turut serta membantu dan berjuang bersama-sama. Altruisme akan mendorong terciptanya perilaku baik kepada orang lain dan memastikan agar semua orang mendapatkan pertolongan saat mereka membutuhkannya.

Terlepas dari sisi positifnya, altruisme yang berlebihan juga tidak baik. Sikap ini berakar dari rasa empati yang terlalu besar sehingga membuat seseorang lebih sensitif dalam merasakan penderitaan orang lain. Hal ini kemudian akan membuat ia mengutamakan kebahagiaan orang lain di atas kepentingan dirinya sendiri. Lambat laun hal ini mengubah arah dari sikap altruisme itu sendiri menjadi ke arah yang tidak sehat atau patologis.

Ketika Altruisme Justru Melahirkan Luka Batin

Ketika keinginan untuk menempatkan diri dalam emosi dan penderitaan orang lain menjadi prioritas dalam hidup seseorang di atas kesejahteraan diri sendiri, maka sikap altruisme yang ditunjukkan sudah dapat dikatakan tidak sehat (Batchner-Melman & Oakley, 2016).

Jika sikap altruisme yang sehat dilandasi oleh keterbukaan akan pengalaman baru dan keinginan untuk berkembang, altruisme patologis atau altruisme yang tidak sehat justru berakar dari empati yang berlebihan dan keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain dengan cara mengabaikan kebutuhan pribadi dan mengorbankan kepentingan diri sendiri. Pada tahap yang irasional, seseorang akan kehilangan nilai diri bahkan dapat menuntun pada self-harm atau mencelakai diri sendiri.

Misalnya, dalam beberapa contoh kasus, seperti seorang perawat yang meninggalkan pekerjaannya karena terlalu peduli pada penderitaan salah satu pasiennya. Hal yang sama terjadi pada seorang anak yang merawat orang tuanya yang sehat, hingga ia mengabaikan masa depan dan kebahagiaannya sendiri.

Altruisme patologis juga dapat terjadi karena keterbatasan seseorang untuk mengatakan “tidak” saat dimintai pertolongan. Selalu berkata “ya” kepada orang lain tidak selalu berdampak baik. Ada saatnya kita harus menetapkan batasan atas kemampuan kita untuk menolong orang lain. Tidak banyak yang menyadari ini dan mampu untuk menolaknya karena pada dasarnya perilaku menolong memberikan rasa nyaman dan bahagia. Hal ini membuat kita mengesampingkan kebutuhan pribadi dan lama kelamaan membuat kita lelah dan tak berdaya. Pada akhirnya, hal itu turut memengaruhi kesehatan mental kita sendiri.

Pentingnya Self Love

Hidup dalam lingkungan masyarakat luas membuat sebagian besar orang beranggapan bahwa mementingkan diri sendiri adalah perilaku yang tidak pantas. Hal ini juga membuat orang untuk sulit menolak ketika dimintai bantuan (Kaufman & Jauk, 2020).

Namun, Fromm (1939) menegaskan bahwa kita sebagai manusia juga harus mementingkan self love, yakni sikap mencintai dan menunjukkan kepedulian pada kebahagiaan diri sendiri untuk mencapai perkembangan mental yang sehat. Sementara itu, sikap untuk memuaskan dan mensejahterakan orang lain di atas kebahagiaan kita justru berkebalikan dari self love yang ditegaskan oleh Fromm.

Terinspirasi dari Fromm, Abraham Maslow (1943), seorang pelopor psikologi humanistik berpendapat bahwa kita tidak dapat menilai bahwa sikap memedulikan diri sendiri itu buruk atau sikap mementingkan orang lain itu baik, kecuali kita mengetahui alasan sebenarnya di balik kedua perilaku tersebut. Bisa saja, perilaku mementingkan orang lain muncul dikarenakan tekanan lingkungan atau bahkan berasal dari keegoisan diri kita sendiri.

Maslow juga menekankan bahwa penting bagi seseorang untuk terbiasa menunjukkan sikap hormat pada diri sendiri. Saat menolong orang lain, kita juga perlu memperhatikan apakah yang kita lakukan betul-betul murni karena ingin membantu? Atau hanya karena kita merasa tidak enak, takut tidak disukai, atau menginginkan pengakuan? Di sini kita perlu menyadari apakah yang kita lakukan betul-betul altruisme atau bukan sehingga kita tidak berakhir menyakiti diri kita sendiri.

Mementingkan kesejahteraan orang lain tidaklah salah, tetapi jangan lupa bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan diri sendiri juga penting. Sikap altruisme atau menolong tanpa pamrih merupakan perilaku yang pada dasarnya baik dan memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Namun, selalu ingat untuk membatasi diri ketika kita sudah merasa tidak nyaman dan lelah atau hal itu akan menuntun kita pada sikap altruisme yang tidak sehat dan melahirkan luka baru di batin kita.

Referensi

Penulis : Rifqa Amalia Azzyati, S.Psi.

Editor Tata Bahasa : Ika Aulia Andri Saputri

Sumber Tulisan :

  1. Arifin, S. B. (2015). Psikologi Sosial. Bandung: CV. Pustaka Setia.
  2. Bachner-Melman, R. & Oakley, B. A. (2016). “Giving ‘Til It Hurts’: Eating Disorders and Pathological Altruism”. Bio-Psycho-Social Contributions to Understanding Eating Disorders. New York: Springer.
  3. Kaufman, S. B. & Jauk, E. (2020). “Healthy Selfishness and Pathological Altruism: Measuring Two Paradoxical Forms of Selfishness”. Frontiers Psychology.
  4. McCullough, M, Emmons, R & Tsang, J. A. (2004). “Gratitute in Intermediate Affective Terrain: Links of Grateful Moods to Individual Differences and Daily Emotional Experience”. Journal of Personality and Social Psychology.
  5. Nida Khairunnisaa. (2020). “Apa itu Altruisme? Mengapa Manusia Melakukan Hal-Hal Baik?”. Diakses pada 01 Nov 2021 di laman https://satupersen.net/blog/apa-itu-altruisme-mengapa-manusia-melakukan-hal-hal-baik.
  6. Psychology Today’s Staff. “Altruism: Why Altruism is Important? What Makes Someone Generous?”. Diakses pada 01 Nov 2021 di laman https://www.psychologytoday.com/us/basics/altruism.

Artikel Lainnya!

15 Jun

Membangun Kesehatan Mental yang Positif dengan Digital Minimalism di Era Teknologi Modern

by Maureen Gracia Priskila, S.Psi, MBA

Menurut Socconians, hal apa sih yang tidak bisa dapatkan melalui smartphone di zaman sekarang? Di era yang serba digital ini, kita bisa mendapatkan hampir semua yang kita inginkan dengan mudah. Namun,  menghabiskan terlalu banyak waktu dengan gadget dapat menimbulkan emosi negatif yang berdampak pada kesehatan mental, lho! Jadi, aplikasi canggih yang mendukung keperluan kita itu salah ga ya? Yuk, cari tahu di artikel Social Connect berikut ini!

Read More
15 Jun

Pengaruh Idola terhadap Kesehatan Mental

by Lintang Nastiti, S.Psi.

Idola dan penggemar, dua hal yang tidak dapat dipisahkan, baik dari bidang entertainment maupun dari bidang lain. Saat ini, banyak anak muda yang memiliki idola. Bahkan, banyak yang kebingungan untuk menentukan idola mereka. Hal ini disebabkan oleh munculnya banyak idola baru dalam satu waktu. Apakah kehadiran idola dapat mempengaruhi kesehatan mental kita? yuk, kita simak penjelasannya! 

Read More
07 Jun

Pentingnya Menjaga Ikatan antara Ibu dan Anak

by Dhiyaurrahmah, S.Psi

Ibu adalah seseorang yang sangat dekat dengan kita. Karena beliau, kita lahir ke dunia dan dididik serta dibesarkan hingga saat ini. Pada kesempatan ini, Social Connect akan membahas mengenai kualitas hubungan antara ibu dan anak. Ibu adalah seseorang yang sangat dekat dengan kita. Berikut ini beberapa manfaat dari kualitas hubungan ibu dan anak yang baik, lo, Socconians. Yuk, kita cari tahu! 

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2022 All rights reserved.