• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
06 Apr

Benarkah YOLO = Bahagia yang  Sesungguhnya?

by Lydia Kristiani S. Psi

"Kamu mau traveling lagi? Bukannya minggu lalu kamu baru pergi ke Bali?"

"Tambah koleksi baju baru? Kayaknya kamu modis banget, selalu punya model paling baru!"

"Pulang kantor ngafe? Aku enggak ikut dulu, ya. Kemarin kita juga baru coba kafe baru, kan?”

Socconians, merasa akrab dengan kalimat-kalimat di atas? Mungkin kamu pernah mendengar atau mengatakannya. Inti dari kalimat-kalimat tersebut adalah betapa seseorang melakukan hal-hal tertentu yang sifatnya menyenangkan diri sendiri secara berulang-ulang. Setiap orang punya hobi atau kegemaran akan sesuatu yang berbeda-beda. Bisa jadi berbelanja atau berwisata. Ketika orang tersebut tenggelam dalam kesenangannya, kerap terucap slogan, "You only live once!"  alias YOLO.

Gaya hidup dengan patokan YOLO makin mudah dijumpai saat ini. Sesungguhnya, ada hubungan antara YOLO dan kesehatan mental. Laura Carstensen, profesor psikologi dari Stanford University, mengembangkan teori socioemotional selectivity. Menurut teori ini, saat seseorang mempersepsikan bahwa hidupnya sudah mendekati akhir, misalnya pada lansia, maka ia akan melakukan aktivitas yang memberinya perasaan positif. Sebaliknya, ia akan menjauhi hal-hal yang menimbulkan perasaan negatif. Bagi orang-orang yang lebih muda tetapi mempunyai persepsi bahwa mereka hanya punya sedikit waktu luang, mereka juga akan berusaha terlibat dalam berbagai hal yang dianggap lebih bermakna.

Teori lain yang dapat dihubungkan dengan slogan YOLO adalah terror management theory yang dikembangkan oleh psikolog bernama Jeff Greenberg, Tom Pyszczynski, dan Sheldon Solomon. Sesuai namanya, teori ini mengungkapkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa hidupnya tidak abadi. Pada dasarnya, manusia ingin hidup. OIeh karena itu, bayangan akan kematian dapat menimbulkan rasa teror. Untuk mengurangi teror tersebut, manusia akan berusaha menjadikan hidupnya bermakna dan bermanfaat. Caranya bisa dengan menganut nilai atau pandangan hidup tertentu agar manusia merasa eksis dan berarti di tengah masyarakat.

YOLO sendiri ditandai dengan pengambilan keputusan yang mengikuti kata hati dan lebih banyak berfokus pada kebahagiaan saat ini. Anggapan bahwa hidup itu singkat dan masa depan tidak bisa dipastikan membuat penganutnya mengutamakan kepuasan dan keuntungan yang dapat diperoleh dalam waktu cepat. Kalau dilihat sekilas, mungkin kamu bisa dibuat iri dengan orang-orang seperti ini. Kesehatan mental mereka tampak baik; mereka terlihat hidup bahagia, terhindar dari overthinking, dan bisa membuat keputusan dengan cepat. Tetapi, benarkah demikian? Apakah kamu sudah melihat sisi lain dari gaya hidup ini?

Seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, ada konsekuensi negatif yang langsung atau tidak langsung terjadi. Misalnya, seseorang yang sangat senang berbelanja dan menganggap uang bisa dicari lagi akan sulit untuk menabung. Di masa tuanya, bisa jadi ia akan hidup berkekurangan karena tidak menabung sejak usia muda. Contoh lainnya adalah kegemaran berwisata yang banyak dilakukan kaum muda saat ini. Bila tidak berhati-hati menyusun anggaran, bukannya mengurangi, hobi ini malah akan menambah stres di kemudian hari. Banyak lagi contoh-contoh lain yang bisa kamu temukan apabila memikirkan lebih jauh ke masa depan dan bukan hanya untuk saat ini.

Jadi, Socconians, kunci untuk kehidupan yang lebih bahagia ada pada keseimbangan. Sebelum mengambil keputusan dengan alasan you only live once, pikirkan dampaknya pada dirimu di masa yang akan datang. Niscaya di masa depan, kamu akan berterima kasih karena keputusan tepat yang diambil saat ini. Selamat menikmati hidup dan jangan lupa membaca artikel-artikel lain yang bermanfaat di Social Connect, ya!

Referensi

Penulis: Lydia Kristiani S. Psi

Editor Tata Bahasa: Hania Latifa

Sumber Tulisan:

  1. Heflick, Nathan A. (2013). “The Psychology of “YOLO””. Diakses dari laman web https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-big-questions/201309/the-psychology-yolo pada tanggal 15 Maret 2022
  2. Vinney, Cynthia. (2020). “What is Socioemotional Selectivity Theory”. Diakses dari laman web https://www.thoughtco.com/what-is-socioemotional-selectivity-theory-4783769 pada tanggal 15 Maret 2022
  3. Terror Management Theory. (2022). Diakses dari laman web http://psychology.iresearchnet.com/social-psychology/social-psychology-theories/terror-management-theory/ pada tanggal 15 Maret 2022
  4. Donohoe, Ashley. (2021). “What’s with YOLO?”. Diakses dari laman web https://www.sapling.com/13764827/whats-with-yolo pada tanggal 15 Maret 2022

Artikel Lainnya!

14 Aug

4 Cara untuk Meningkatkan Self-Image Kita

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Self-image adalah bagaimana kita melihat diri kita sendiri secara baik atau buruk. Jika kita seringkali membanding-bandingkan diri kita dan membentuk sebuah pemikiran, “Kalau kita tidak sukses (seperti yang lain), kita tidak berharga”. Alhasil, self-image kita akan merosot. Berikut empat cara untuk meningkatkan self-image kita!

Read More
12 Aug

Meningkatkan Kualitas Hubungan: Know Yourself Better

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Apakah Socconians sudah mengenali diri kalian lebih baik? Dengan mengenali diri kita sendiri, kita bisa meningkatkan kualitas hubungan kita dengan diri kita sendiri, lho! Selayaknya ketika kita ingin berkenalan dengan orang lain, mengenali diri kita sendiri menggunakan pendekatan yang serupa.

Read More
10 Aug

Mengetahui Lebih Banyak Tentang Toxic Relationship

by Rizka Siti Nur Rachmawati, S.Psi

Socconians pernah dengar apa itu toxic relationship? Saat ini tidak jarang ditemui bahwa apa yang kita anggap tidak sehat belum tentu orang lain juga akan sependapat. Ada beberapa hal dasar yang perlu sama-sama Socconians ketahui tentang tanda-tanda hubungan toxic relationship. Yuk, simak selengkapnya di artikel berikut ini!

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2025 All rights reserved.