• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
15 Jul

Emotional Dysregulation: Mood yang Sering Terjun Bebas, Apa yang Terjadi, ya?

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Halo, sahabat Socconians!

Pernah tidak tiba-tiba kita merasa moody sampai merasa semua orang sangat menjengkelkan, menyebalkan, dan merasa ingin menjauh aja dari mereka? Atau ketika merasa sedih, kita merasa sangat marah, atau kebalikannya, merasa marah, tetapi kita malahan menangis? Kita kenal gejala ini dengan istilah “mood swing” yang merujuk mood kita yang naik turun dan tidak bisa dikontrol intensitasnya.

Namun, tahu tidak kalau gejala ini di dalam dunia psikologi dikenal sebagai emotional dysregulation? Emotional dysregulation sederhananya bisa dimaknai dengan kurangnya kemampuan seseorang untuk meregulasi (mengatur) emosinya sendiri. Emotional dysregulation juga menyebabkan ketidaksesuaian reaksi emosi kita terhadap situasi yang terjadi. Rasanya mood kita seperti terjun bebas dari senang ke marah ketika kita melihat ruangan kita berantakan!

Gejala dari emotional dysregulation biasanya ditandai dengan luapan emosi yang intens ketika dipicu oleh sesuatu. Contohnya, ketika pacar kita membatalkan kencan bersama kita, kita merasa bahwa pacar kita sedang berselingkuh, lalu kita menangis semalam-malaman sambil menonton series dan makan es krim. Mengalami emotional dysregulation juga berarti kita tidak mampu untuk menenangkan diri, bereaksi dengan emosi yang tidak seharusnya (tertawa ketika dicaci maki), juga terlalu terfokus pada hal-hal yang negatif.

Kalau searching di google mengenai emotional dysregulation, biasanya kondisi ini diasosiasikan dengan depresi, PTSD, bahkan sampai bipolar! Jangan takut dulu teman-teman! Hari ini kita akan mengungkap tentang alasan terjadinya emotional dysregulation, cara menghadapinya, dan mencari tahu apakah kondisi ini membahayakan atau tidak.

Penyebab terjadinya emotional dysregulation

Selain penyebab eksternal seperti trauma pada bagian otak lobus frontal (yang mengatur kontrol impulsif), emotional dysregulation juga disebabkan trauma pada masa kecil. Trauma masa kecil yang dimaksudkan adalah ketika kita tidak mampu memahami mengapa kita tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tua kita. Ketika teman-teman Socconians yang mengalami penolakan ataupun pembiaran dari orang tua kita, reaksi pertama yang akan kita lakukan adalah merasa sedih. Secara fisik, anak kecil yang sedang dalam masa perkembangan hanya memahami satu hal krusial, yaitu orang tua merupakan sumber kehidupan kita. Kita tidak bisa hidup tanpa orang tua kita.

Penolakan dan pembiaran yang dilakukan oleh orang tua kita akhirnya membuat kita kebingungan harus merasa bagaimana. Apakah kita harus merasa sedih atau marah ketika kita dibiarkan. Kemudian jika pembiaran dan penolakan ini terjadi, seiring dengan waktu perkembangan kita, banyak situasi yang tampaknya membingungkan untuk kita. Seperti ketika tempat pensil kita dipermainkan oleh teman kita, kita tidak tahu harus merespons seperti apa.

“Marah? Menangis? Tertawa? Memangnya reaksi mana yang seharusnya aku tunjukkan dalam situasi seperti ini?”

Pembiaran dan penolakan dari orang tua juga mengakibatkan anak mereka tidak bisa meniru atau mempelajari emosi mana yang sesuai digunakan dalam situasi tertentu. Kemudian anak akan cenderung untuk mengurungkan emosi mereka karena pertanyaan yang sama masih dipertanyakan, reaksi mana yang seharusnya ditunjukkan dalam situasi seperti ini?

Setelah kita bertumbuh besar, pemicu emotional dysregulation berubah. Sumber masalah tidak lagi muncul karena dipicu oleh orang tua kita, tetapi orang-orang di sekitar kita yang bertindak sama seperti orang tua kita. Pada kehidupan sosial, yaitu pada tempat kerja, sekolah ataupun kampus, ketika seseorang tidak memvalidasi (menolak dan tidak mengakui) diri kita, luapan perasaan sedih dan marah bercampur, tetapi kita tetap tidak paham cara mengekspresikannya. Kombinasi antara trauma masa kecil, ketidakselarasan tindakan dan reaksi emosi yang diberikan, dan pemendaman perasaan secara berkepanjangan membuat emosi kita meledak-ledak.

Cara menghadapi emotional dysregulation

Emotional dysregulation bukanlah kondisi yang bisa dihadapi sendiri. Penyebab dari emotional dysregulation bisa saja dipicu dari luar, tetapi konflik yang dipicu terjadi hanya di dalam pikiran kita. Sehingga cara yang paling tepat adalah dengan pergi ke psikiater ataupun psikolog untuk melakukan terapi, konseling, dan konsumsi obat yang disarankan oleh psikiater.

Namun, untuk teman-teman yang belum siap untuk pergi ke psikolog ataupun ke psikiater, artikel dalam Social Connect ini akan menyediakan beberapa tips ketika kalian sedang mengalami emotional dysregulation.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, konflik yang terjadi semua bertempat pada pikiran kita, tempat kita kesulitan untuk mengatur emosi kita sendiri. Maka dari itu, upaya untuk meregulasi pikiran kita ketika emosi kita meluap-luap adalah cara yang paling baik. Menurut Linehan (1993), salah satu terapi yang digunakan adalah dialectical behaviour therapy (DBT). Terapi ini digunakan untuk meningkatkan mindfulness atau kesadaran diri terhadap sekitar kita.

Dialectical behaviour therapy (DBT) menjabarkan 3 kondisi pikiran kita yaitu Reasonable mind (pikiran rasional dan logis), Emotional mind (pikiran emosional, mood dan sensasi), dan Wise mind (kombinasi antara reasonable mind dan emotional mind). Proses ini untuk membedakan situasi yang kita alami menjadi warna abu-abu ketimbang dengan warna hitam atau putih (situasi ekstrem). Cara menggunakan metode ini adalah dengan menulis jurnal dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjabarkan pemikiran kita saat sedang tertekan, seperti:

  • Apa yang membuat kita merasa tertekan?
  • Apa pendapat (yang saya pikirkan) saya mengenai situasi ini? (Tuliskan 3)
  • Perasaan apa yang saya rasakan saya berpikir demikian dalam menghadapi situasi ini? (Perasaan secara fisik, seperti “saya menangis”, “dada saya terasa sesak”)
  • Apa konsekuensi yang akan kita dapatkan ketika saya berpikir seperti ini dalam situasi ini?

Dengan menuliskan jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas, kita berusaha untuk menjabarkan pemikiran yang muncul dan menghindari luapan emosi dari ketidakmampuan kita untuk mengatur emosi kita. Selain itu, terapi ini bertujuan untuk membuat kita sadar mengenai hubungan antara pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Dengan menjabarkan apa yang ada di dalam kepala kita, proses ini diharapkan dapat membantu kita dalam mengatur emosi kita.

Apakah kondisi ini membahayakan?

Seperti yang sudah dibahas di atas, mengalami emotional dysregulation membuat kita tidak mampu meregulasi atau mengatur emosi kita dan hal ini disebabkan oleh ketidakpahaman kita terhadap emosi kita. Lalu, ketika kita searching melalui google potensi situasi ini berujung pada penyakit psikologis yang menakutkan. It’s true! Emotional dysregulation dapat berakibatkan pada beberapa situasi psikogis yang disebutkan, tetapi jangan mendiagnosis diri sendiri dulu, ya, Socconians!

Kondisi ini tidak membahayakan, tetapi pastinya sangat mengusik kehidupan keseharian kita. Karena pengaruh masa kecil yang tidak bisa dihindari akan lebih baik untuk Socconians untuk mulai menjabarkan pemikiran dan emosi kita agar mampu untuk mengatur dan meregulasi emosi kita sendiri. Namun, ketika kondisi kamu sudah ekstrem dan kamu kesulitan untuk berpikir jernih, Social Connect menganjurkan untuk menghubungi psikolog maupun psikiater untuk menerapkan terapi yang disarankan demi kesehatan mental diri sendiri dan sekitar kita.

Kami dari Social Connect ingin kesehatan mental sahabat Socconians menjadi lebih baik. Dengan menjabarkan pemikiran, emosi, sebab, dan akibat dari masalah atau tekanan, kita bisa menyelaraskan pikiran, emosi, dan perilaku kita. Untuk masa lalu yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Hari ini kita belajar untuk mengatur diri kita sendiri karena masa depan dan masa sekarang kita ada di tangan kita.

“The future is in our hands.”

  • Dalai Lama
Referensi

Nama Penulis : Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Editor Tata Bahasa : Ika Aulia Andri Saputri

Sumber Tulisan :

  1. Cuncic, A. (2021, May 2). What is dysregulation? Verywell Mind. Retrieved June 15, 2022, from https://www.verywellmind.com/what-is-dysregulation-5073868#citation-5
  2. Dunn, E. C., Nishimi, K., Gomez, S. H., Powers, A., & Bradley, B. (2018). Developmental timing of trauma exposure and emotion dysregulation in adulthood: Are there sensitive periods when trauma is most harmful?. Journal of affective disorders, 227, 869–877. https://doi.org/10.1016/j.jad.2017.10.045
  3. Dvir, Y., Ford, J. D., Hill, M., & Frazier, J. A. (2014). Childhood maltreatment, emotional dysregulation, and psychiatric comorbidities. Harvard review of psychiatry, 22(3), 149–161. https://doi.org/10.1097/HRP.0000000000000014
  4. Linehan, M. (1993). Cognitive-Behavioral treatment of borderline personality disorder (1st ed.) [E-book]. The Guilford Press.
  5. WebMD Editorial Contributors. (2021, June 22). What is emotional dysregulation? WebMD. Retrieved June 15, 2022, from https://www.webmd.com/mental-health/what-is-emotional-dysregulation#:~:text=Emotional dysregulation is a term,mood swings%2C or labile mood.

Artikel Lainnya!

14 Aug

4 Cara untuk Meningkatkan Self-Image Kita

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Self-image adalah bagaimana kita melihat diri kita sendiri secara baik atau buruk. Jika kita seringkali membanding-bandingkan diri kita dan membentuk sebuah pemikiran, “Kalau kita tidak sukses (seperti yang lain), kita tidak berharga”. Alhasil, self-image kita akan merosot. Berikut empat cara untuk meningkatkan self-image kita!

Read More
12 Aug

Meningkatkan Kualitas Hubungan: Know Yourself Better

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Apakah Socconians sudah mengenali diri kalian lebih baik? Dengan mengenali diri kita sendiri, kita bisa meningkatkan kualitas hubungan kita dengan diri kita sendiri, lho! Selayaknya ketika kita ingin berkenalan dengan orang lain, mengenali diri kita sendiri menggunakan pendekatan yang serupa.

Read More
10 Aug

Mengetahui Lebih Banyak Tentang Toxic Relationship

by Rizka Siti Nur Rachmawati, S.Psi

Socconians pernah dengar apa itu toxic relationship? Saat ini tidak jarang ditemui bahwa apa yang kita anggap tidak sehat belum tentu orang lain juga akan sependapat. Ada beberapa hal dasar yang perlu sama-sama Socconians ketahui tentang tanda-tanda hubungan toxic relationship. Yuk, simak selengkapnya di artikel berikut ini!

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2023 All rights reserved.