• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
26 Oct

Gangguan Mental: Stigma vs Glorifikasi

by Moniek Vidia Pramestri, S. Psi

Mendengar kata ‘gangguan mental’ mungkin sudah menjadi hal yang mulai tidak asing lagi oleh Socconians. Gangguan mental ini muncul sejalan dengan kampanye tentang kesehatan mental yang mulai banyak dikumandangkan. Hal ini berarti usaha yang baik untuk memperkenalkan bahwa kita tidak cukup hanya mengetahui banyaknya penyakit-penyakit atau gangguan fisik saja, tetapi kita juga harus menyadari bahwa ada banyak gangguan kesehatan mental yang juga eksis di lingkungan. Upaya dari kampanye ini sedikit demi sedikit mengurangi stigma terhadap gangguan kesehatan mental. Sebetulnya, apa, sih, stigma terhadap gangguan mental dan apa pengaruhnya terhadap atmosfer kesehatan manusia secara holistik?

Stigma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesa (KBBI) tahun 2014 diartikan sebagai ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma menjadi tanda yang dibuat untuk menunjukkan sesuatu tidak biasa dan buruk yang terjadi pada seorang penyandang kepada masyarakat luas (Goffman, 2009). Stigma ini dapat mengantarkan pemahaman bahwa penyandang tersebut aneh, terkutuk, orang tercela, dan orang yang harus dihindari. Hal ini membuat mereka sulit mencari pengobatan, penurunan kualitas hidup, memiliki peluang kesempatan kerja yang lebih sedikit, penurunan peluang untuk mendapatkan pemukiman, penurunan kualitas dalam perawatan kesehatan, dan penurunan harga diri (Purnama, Yani, & Sutini, 2016). Maka dari itu, tidak jarang para pengidap gangguan kesehatan mental tidak berani menampakkan dirinya untuk mendapatkan pertolongan pertama. Alih-alih diberi pertolongan pertama, yaitu kemampuan untuk melepaskan diri dari beban-beban yang dipikul, mereka harus menambah beban mereka dengan ketakutan terhadap stigma negatif yang nantinya akan didapatkan. Kemudian, gejala yang mereka alami malah berkembang menjadi gangguan jiwa yang lebih serius.

Stigma ini berkembang karena masih rendahnya pengetahuan yang dipahami oleh masyarakat. Oleh karena itu, senang rasanya kita sudah bisa mulai mendengar isu-isu kesehatan mental ini digaungkan. Tak hanya dalam kampanye, isu ini mulai menjadi topik menarik dalam karya seni dan sastra. Namun, tampaknya terkadang muncul kekeliruan yang dipahami beberapa penerima informasi. Contohnya sebuah serial Netflix yang ramai menjadi perbincangan berjudul 13 Reasons Why yang menceritakan tentang 13 alasan yang ditinggalkan dalam sebuah rekaman oleh tokoh utamanya, Hannah Baker, yang memutuskan untuk melakukan tindakan bunuh diri. Tergambar jelas banyak fakta yang mendorong dia untuk menjadi tertekan dengan keadaan dan semakin menjadi-jadi ketika masalah itu bertambah tanpa adanya pertolongan.

Serial ini sebenarnya ingin menyajikan gambaran dampak dari macam-macam kasus, seperti perundungan (bullying), pelecehan seksual, dan seksisme yang menyebabkan kondisi mental menjadi tidak sejahtera dan sehat. Selain itu, dalam serial ini juga membawa kita ke dalam empati untuk saling memahami kondisi mental lingkungan sekitar kita. Namun pada realitasnya, terjadi kesalahpahaman penyampaian makna dalam karya tersebut. Penelitian menunjukkan adanya kenaikan tingkat kasus bunuh diri di Amerika Serikat sebesar 28,9% (Bridge, 2020). Fenomena ini mungkin dapat terjadi akibat adanya glorifikasi atas gangguan mental yang salah.

Glorifikasi sendiri menurut KBBI adalah proses, cara, perbuatan meluhurkan, memuliakan, dan sebagainya. Glorifikasi gangguan mental berarti sebuah tindakan yang melebih-lebihkan untuk mendukung adanya sebuah gangguan mental. Glorifikasi ini muncul dari tren yang dikampanyekan melalui beberapa kampanye yang salah dan ditampilkan di media sosial, karya seni, atau media lainnya. Glorifikasi disajikan dalam sebuah kesan romantisme dan keindahan akan munculnya gangguan mental, seakan-akan terlihat menarik dan menghilangkan sisi bagaimana suatu gangguan ini harus kita rawat dengan benar oleh bantuan profesional. Ketidaktepatan dalam penanganan gangguan mental pada akhirnya membuat gangguan tersebut semakin serius.

Socconians, menghilangkan stigma gangguan kesehatan mental itu perlu untuk selalu dikampanyekan. Namun, mengakses informasi mengenai gangguan mental membuat kita harus benar benar memilah informasi tersebut. Kita harus mengakses informasi yang dapat dipercaya dan dijelaskan sesuai dengan ranah ilmunya oleh para profesional. Salah satu platform yang bisa kalian jadikan tujuan adalah Social Connect. Selain itu, penting untuk kita berfokus meningkatkan kesadaran pada bagaimana masyarakat bisa mendapatkan bantuan profesional pada masalah kesehatan mental (Yu, 2019).

Referensi

Penulis : Moniek Vidia Pramestri, S. Psi

Editor Tata Bahasa : Rani Fatmawati

Sumber Tulisan :

Bridge, J. (2020). Association Between the Release of Netflix's 13 Reasons Why and Suicide Rates in United States: An Interrupted Time Series Analysis. Journal of The American Academy of Child & Adolescent Psychiatry Vol. 59 Issue. 2, 216-218.

Goffman, E. (2009). STIGMA: Notes on Management of Spoiled Identity. New York: Simon and Schuster.

Purnama, G., Yani, D., & Sutini, T. (2016). Gambaran Stigma Masyarakat terhadap Klien Gangguan Jiwa di RW 09 Desa Cileles Sumedang. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia Vol.2 No.1, 29-37.

World Health Organization. (2004). Promoting Mental Health: Concepts, Emerging Evidence, Practice . Geneva: World Health Organization.

Yu, J. (2019, Mei 1). From Stigmatized to Sensationalized. Retrieved Mei 2021, from NAMI National Alliance on Mental Illness: https://www.nami.org/Blogs/NAMI-Blog/May-2019/From-Stigmatized-to-Sensationalized

Artikel Lainnya!

06 Apr

Benarkah YOLO = Bahagia yang  Sesungguhnya?

by Lydia Kristiani S. Psi

Setiap orang punya hobi atau kegemaran akan sesuatu yang berbeda-beda. Bisa jadi berbelanja atau berwisata. Ketika orang tersebut tenggelam dalam kesenangannya, kerap terucap slogan, "You only live once!"  alias YOLO. Gaya hidup dengan patokan YOLO makin mudah dijumpai saat ini. Sesungguhnya,  YOLO mempunyai hubungan dengan kesehatan mental lho!

Read More
04 Apr

13 Cara untuk Menjadi Lebih Bahagia

by Anita Djie, S.Psi

Halo, Socconians!

Ketika menghadapi banyak masalah atau merasa suntuk dengan kehidupan sehari-hari, sangat wajar apabila kalian merasa sedih atau tidak bersemangat. Tapi, jangan berlarut dalam kesedihan, yuk! Jika emosi negatif tersebut tidak ditangani dengan baik, kesehatan mental kalian juga dapat terdampak.

Read More
21 Mar

Cara Meningkatkan Kualitas Hidup di Masa Pandemi

by Nadiah Cahyani, S.Psi.

Hi, Socconians

Kali ini, Social connect akan membagikan beberapa cara untuk meningkatkan kualitas hidup di masa pandemi, lho. Kira-kira apa sajakah itu?

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2022 All rights reserved.