• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
15 Jun

Membangun Kesehatan Mental yang Positif dengan Digital Minimalism di Era Teknologi Modern

by Maureen Gracia Priskila, S.Psi, MBA

Dear Socconians yang budiman,

Menurut kalian, hal apa yang tidak bisa dapatkan melalui smartphone di zaman sekarang, sih? Di era yang serba digital ini, kita bisa mendapatkan hampir semua hal yang diinginkan dengan mudah. Mulai dari makanan: kita tinggal buka aplikasi Gojek dan memesan makanan favorit kita. Informasi harga tiket konser Justin Bieber pun dapat kita peroleh dengan mudah melalui “mbah” Google. Bahkan, soal pasangan hidup, bisa kita dapatkan melalui aplikasi Tinder (kalau memang cocok).

Namun, apakah Socconians tahu bahwa menghabiskan terlalu banyak waktu dengan gadget dapat menimbulkan emosi negatif yang berdampak pada kesehatan mental kita? Sherman & Cohn dalam artikelnya yang berjudul “Embracing Digital Minimalism” menyampaikan, menghabiskan terlalu banyak di layar gadget dapat berdampak pada kesehatan mental yang kurang baik dengan menimbulkan rasa cemas, stres, bahkan burnout. Aplikasi-aplikasi seperti Instagram atau Facebook yang pada awalnya dirancang untuk membangun koneksi dengan orang lain justru dapat mengarahkan kita untuk merasa kesepian di masa ini. Mengapa demikian? Sebab, aplikasi tersebut membantu kita untuk berkoneksi dengan orang lain, bertukar informasi, berbagi pendapat, dan juga berinteraksi dengan memberikan respons. Fitur-fitur dalam aplikasi seperti tombol like atau kolom komentar pada awalnya dirancang untuk membantu kita berkomunikasi hingga membangun diskusi bersama orang lain. Meski begitu, fitur ini perlahan berubah fungsi menjadi penerimaan sosial di mana ketika kita memiliki like atau teman yang banyak, maka kita akan dianggap gaul atau keren.

Kecenderungan ini justru menjadi penting karena sifatnya yang memberikan perasaan senang dan puas, membuat penggunanya menjadi haus penerimaan. Cal Newport pun menyebutkan bahwa hal ini menjadi sebuah lingkaran yang tidak pernah berakhir. Pengguna justru akan berfokus untuk membangun portofolio sosial media mereka ketimbang membangun hubungan relasi yang sebenarnya di dunia nyata.

Lalu, apakah menggunakan media sosial atau aplikasi untuk mendukung keperluan kita menjadi salah? Jelas tidak, karena bagaimana pun tujuan dari perkembangan teknologi, salah satunya adalah untuk membantu kehidupan manusia. Hanya saja, teknologi ini justru bisa menjadi masalah ketika kita menjadikannya sebagai hambatan dalam mendukung aktivitas. Misalnya, dengan menghabiskan waktu terlalu banyak untuk hal yang sebenarnya kurang produktif sehingga berdampak pada kesehatan mental kita. Sebagai contoh, kita bisa menggunakan waktu untuk melakukan kegiatan produktif di akhir pekan, seperti berolahraga, meluangkan waktu bersama teman dan keluarga, atau menggeluti hobi seperti main musik bersama teman-teman komunitas. Sayangnya, kecenderungan orang-orang di zaman digital ini justru membuat kita menghabiskan waktu untuk scrolling di media sosial hingga berjam-jam dalam sehari, baik secara sadar maupun tidak. Perilaku tersebut juga disampaikan oleh Cal Newport dalam bukunya yang berjudul “Digital Minimalism” sebagai dampak buruk dari perkembangan teknologi yang secara tidak disadari sudah menyimpang dari tujuan awal yang sudah ditetapkan oleh para penemu. Ketidaktahuan ini pun justru digunakan sebagai strategi bisnis oleh berbagai pihak untuk membuat konten yang menarik dan meningkatkan adiksi kita sebagai pengguna untuk “mengonsumsi” secara berlebihan semua informasi yang diberikan.

Salah satu alternatif pilihan yang dapat kita ambil dalam rangka mengurangi dampak negatif dari penggunaan gadget yang berlebihan adalah dengan Digital Minimalism (DM). Cal Newport mendeskripsikan hal ini sebagai kegiatan untuk memfokuskan waktu daring kita hanya pada beberapa sosial media atau aplikasi tertentu yang mendukung semua kegiatan yang kita nilai berharga, sekaligus memilih melepaskan hal-hal yang tidak perlu. Digital minimalist (orang yang melakukan DM) hanya akan memilih aplikasi yang sangat essensial sehingga mereka cenderung tidak mengutamakan update-update terbaru dari aplikasi, sosial media, atau gadget yang mereka gunakan. Kecuali, update tersebut berdampak signifikan dalam mendukung kegiatan yang mereka nilai sangat berharga dalam kehidupan mereka.

Tiga prinsip dasar dari DM:

  1. Kekacauan dari penggunaan gadget, aplikasi, atau media yang berlebihan justru merugikan.

  2. Optimisasi merupakan hal yang terutama.

  3. Kepuasaan dalam mengontrol kehidupan digital kita.

Tentu istilah DM sendiri mungkin masih awam bagi Socconians, alias pembaca setia Social Connect. Namun, perilaku ini dapat menjadi alternatif yang dapat kita coba ketika mulai menyadari betapa teknologi sudah mengambil alih hidup kita. Bahkan, Cal Newport juga mengajak pembacanya untuk melakukan decluttering selama 30 hari, yakni kegiatan menentukan aturan main dalam memilah dan memakai teknologi tertentu yang paling mendukung kegiatan kita, mengeksplor aktivitas dan perilaku yang memuaskan juga bermakna, serta membentuk sebuah kedisiplinan baru untuk menggunakan teknologi sebagai pendukung aktivitas keseharian kita.

Selama penulisan artikel ini, penulis juga menyadari bahwa kegiatan membuka Instagram untuk hal yang tidak perlu selama berjam-jam ternyata sudah menjadi ketergantungan yang tidak disadari selalu dilakukan, sehingga membuat kita menunda terlalu lama aktivitas lain, seperti sesimpel membereskan kamar. Bukan hanya menjadi penghambat, perasaan cemas untuk tidak membuka aplikasi tersebut pun mulai dirasakan bahkan juga mengarahkan pada perilaku membandingkan diri dengan orang lain. Terlalu bergantung pada media sosial bisa mengarahkan pada ketidakpercayaan diri dan sikap pesimistis terhadap kehidupan saat ini. Untuk itu, alangkah baiknya ketika sudah tersadarkan mengenai dampak buruk hal ini, kita mulai membangun kebiasaan untuk tidak semakin bergantung, tetapi menjadikan teknologi sebagai pendukung kegiatan kita, salah satunya dengan DM.

Untuk Socconians yang tertarik mengenal dan belajar lebih dalam mengenai DM, yuk, bersama-sama kita mencoba membangun kebiasaan baru untuk menciptakan kesehatan mental dengan mengendalikan teknologi dan bukan dikendalikan olehnya!

Referensi

Penulis : Maureen Gracia Priskila, S.Psi, MBA

Editor Tata Bahasa : Sevilla Nouval Evanda

Sumber Tulisan :

  1. Cal, N. (2019). Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World. New York: Portfolio/Penguin.
  2. Skivko M, Korneeva E, Kolmykova M. Digital Minimalism as a Leading Limitation of Media Communications in the Heyday of Digital Culture. Advances in Social Science, Education and Humanities Research. May;2020:441:61-67.
  3. Sherman RO & Cohn TM. (2020). “Embracing Digital Minimalism”. Diakses dari laman American Nurse pada tanggal 9 April 2022.

Artikel Lainnya!

15 Jun

Pengaruh Idola terhadap Kesehatan Mental

by Lintang Nastiti, S.Psi.

Idola dan penggemar, dua hal yang tidak dapat dipisahkan, baik dari bidang entertainment maupun dari bidang lain. Saat ini, banyak anak muda yang memiliki idola. Bahkan, banyak yang kebingungan untuk menentukan idola mereka. Hal ini disebabkan oleh munculnya banyak idola baru dalam satu waktu. Apakah kehadiran idola dapat mempengaruhi kesehatan mental kita? yuk, kita simak penjelasannya! 

Read More
07 Jun

Pentingnya Menjaga Ikatan antara Ibu dan Anak

by Dhiyaurrahmah, S.Psi

Ibu adalah seseorang yang sangat dekat dengan kita. Karena beliau, kita lahir ke dunia dan dididik serta dibesarkan hingga saat ini. Pada kesempatan ini, Social Connect akan membahas mengenai kualitas hubungan antara ibu dan anak. Ibu adalah seseorang yang sangat dekat dengan kita. Berikut ini beberapa manfaat dari kualitas hubungan ibu dan anak yang baik, lo, Socconians. Yuk, kita cari tahu! 

Read More
06 Apr

Benarkah YOLO = Bahagia yang  Sesungguhnya?

by Lydia Kristiani S. Psi

Setiap orang punya hobi atau kegemaran akan sesuatu yang berbeda-beda. Bisa jadi berbelanja atau berwisata. Ketika orang tersebut tenggelam dalam kesenangannya, kerap terucap slogan, "You only live once!"  alias YOLO. Gaya hidup dengan patokan YOLO makin mudah dijumpai saat ini. Sesungguhnya,  YOLO mempunyai hubungan dengan kesehatan mental lho!

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2022 All rights reserved.