• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
14 Nov

Mengenal Posttraumatic Growth di Era Pandemi

by Nisa Kusuma Febri, S.Psi

Apakah Socconians pernah mendengar istilah posttraumatic growth? Kali ini, Social Connect akan membahas tentang posttraumatic growth. Posttraumatic growth cukup asing di telinga banyak orang, karena kebanyakan lebih mengenal dengan istilah trauma. Sebelum membahas posttraumatic growth, Socconians pasti merasakan perubahan pola hidup dan kesehatan mental selama pandemi. Mayoritas yang mengalami gangguan mental selama pandemi yaitu perempuan, anak, remaja serta lanjut usia. Selain gangguan kesehatan mental, perubahan pola hidup juga menyebabkan individu mengalami keterbatasan interaksi sosial yang meningkatkan rasa kesepian dan kecemasan. Bahkan, ada gangguan lainnya yang muncul seperti gangguan trauma bagi individu yang mengalami kejadian menyakitkan akibat Covid-19. Walaupun beberapa individu mengalami peristiwa traumatis, tetapi mereka mampu bangkit dan menjalankan hidup lebih baik dan hal itu merupakan salah satu indikasi posttraumatic growth (pertumbuhan pasca trauma).

Apa Itu Posttraumatic Growth?

Menurut Paton, Voilanti dan Smith (disitasi dalam Kloep, 2010) posttraumatic growth adalah perubahan drastis ke arah yang lebih baik dalam kemampuan berpikir dan emosi individu, sehingga mampu beradaptasi terhadap trauma psikologis terkait kejadian yang tidak menyenangkan. Seseorang yang mengalami peristiwa traumatis, seperti kecelakaan lalu lintas, bencana, pelecehan seksual, terkena penyakit mematikan, dan pengalaman hidup (perceraian dan imigrasi) memungkinkan individu mengalami perubahan positif pada kejadian tersebut melalui perjuangan.

Perlu diketahui, Socconians, menurut Tedeschi dan Calhoun (2013) bahwa ada beberapa proses seseorang mencapai posttraumatic growth (pertumbuhan pascatrauma) dimulai dari:

1. Perenungan yang bersifat otomatis (rumination mostly automatic and intuisive)

Pandangan individu untuk merenungkan kejadian yang dialami sebagai pola awal pembangunan pada diri individu untuk tumbuh lebih baik.

2. Melakukan keterbukaan untuk mendapatkan dukungan (disclosure and support)

Individu yang mengalami kejadian tidak menyenangkan dapat membuka diri untuk mendapat dukungan orang sekitar seperti dukungan semangat. Selain itu, individu juga mulai membuka diri untuk menceritakan apa yang dirasakan dan trauma yang dialami sebagai transfer emosi antara individu kepada orang lain.

3. Mengelola emosi berbahaya atau negatif (managing distressing emotion)

Saat mengalami kejadian yang menyakitkan, individu mulai belajar untuk mengendalikan emosi sehingga tidak menimbulkan masalah pada dirinya. Pengelolaan emosi meningkatkan proses berpikir seseorang untuk mengubah pola pikir sebelumnya, supaya mampu menghadapi masa sulit.

4. Proses dan perkembangan kognitif (cognitive processing and growth)

Proses berpikir individu juga dipengaruhi oleh kepercayaan diri yang menentukan pertumbuhan pascatrauma. Saat kepercayaan diri pada individu tinggi, hal itu akan mengurangi kondisi yang dapat memperburuk keadaan dalam hidupnya serta meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, stres, dan konflik.

5. Kebijaksanaan dan cerita kehidupan (wisdom and life narrative)

Setelah kejadian yang tidak menyenangkan, individu akan berproses meningkatkan pengaruh kebijaksanaan dan keteguhan dalam memandang kehidupan. Kemudian, hal tersebut menjadikan posttraumatic growth (pertumbuhan pascatrauma) sebagai bagian “memperbaiki” dalam kehidupan individu.

Selain itu, menurut Tedeschi dan Calhoun (2004) ada indikasi seseorang yang mengalami posttraumatic growth (pertumbuhan pascatrauma) memiliki elemen-elemen, antara lain:

1. Penghargaan terhadap hidup (appreciation of life)

Merupakan pandangan hidup akan rasa prioritas yang penting dalam hidupnya. Hal ini memberikan peluang baru yang meningkatkan kemampuan dan kecenderungan untuk membuat perubahan hidup yang positif.

2. Hubungan dengan orang lain (relating to others)

Adanya hubungan yang lebih akrab dan bermakna terhadap keluarga maupun teman dengan lebih dekat dibandingkan sebelum mengalami peristiwa yang menyakitkan.

3. Kekuatan dalam diri (personal strength)

Adanya kekuatan untuk lebih tangguh serta kekuatan menghadapi permasalahan-permasalahan di dalam kehidupannya.

4. Kemungkinan baru (new possibilities)

Identifikasi individu untuk menentukan tujuan baru dalam hidupnya. Individu akan mencari cara terbaik untuk mencari jalan keluar di masa hidupnya yang sulit.

5. Perkembangan spiritual (spiritual change)

Mengacu pada rasa syukur yang lebih besar pada Sang Pencipta serta adanya rasa komitmen seseorang terhadap agama yang lebih baik dari sebelum kejadian traumatis.

Cara Meningkatkan Posstraumatic Growth

Socconians, ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam meningkatkan posttraumatic growth (pertumbuhan pascatrauma) melalui efikasi diri atau kecakapan diri. Sebelumnya, efikasi diri menurut Bandura (1997) merupakan keyakinan seseorang atas kemampuannya dalam menghadapi beberapa macam sumber, termasuk kegagalan personal yang pernah dialami oleh individu untuk mencapai suatu keberhasilan. Dalam hal ini, apabila efikasi diri rendah maka akan meningkatkan resiko kecemasan dan perilaku menghindari aktivitas aktivitas lain. Seperti pada penelitian Jex et al (2001) mengenai efikasi diri pada pasien kanker, terdapat korelasi tinggi antara kondisi fisik dan efikasi diri serta kaitannya dengan burnout pada para guru. Hal ini selaras dengan penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang menunjukan potensi burnout (stres berat akibat pekerjaan) pada tenaga kesehatan selama pandemi sebesar 83%.

Pada individu yang memiliki efikasi diri atau kecakapan diri yang tinggi, maka mereka akan sukses menghadapi masalah atau trauma yang dialami, gigih dalam menyelesaikan masalah, cepat bangkit dari kegagalan, serta suka mencari situasi yang baru. Terdapat contoh cara yang bisa dilakukan di rumah untuk meningkatkan posttraumatic growth, seperti memberikan persuasi verbal (bujukan) dalam bentuk dorongan semangat yang diberikan kepada orang yang mengalami trauma. Selain itu, individu yang pernah mengalami peristiwa traumatis juga dapat mengambil hikmah atau menyaksikan perjuangan orang lain dalam hal menghadapi trauma. Dengan melihat perjuangan orang lain, individu dapat meniru dan membandingkan, sebagai upaya memperkuat keyakinan efikasi diri yang nantinya berpengaruh terhadap posttraumatic growth.

Selain, itu cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan posttraumatic growth bagi tenaga kesehatan yaitu seperti pada penelitian Martin (2020) dengan memberi jadwal kepada teman dan keluarga melalui panggilan serta obrolan video. Di sisi lain, dalam meningkatkan pertumbuhan fisik dan mental, dapat dilakukan cara melalui kegiatan kerja aerobik, pelatihan, pemberian makan bergizi, serta jadwal regulasi tidur yang cukup.

Referensi

Penulis: Nisa Kusuma Febri, S.Psi

Editor Tata Bahasa: Triani Apriliansyah
Sumber Tulisan:

  1. Averill, J.R (1999). Individual differences in emotional creativity: structure and correlates. J.Pers. 67,331-371, doi: 10.1111/1467-6494.00058
  2. Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of self-control. New York: W.H. Freeman and Company.
  3. Kloep, M. (2010). Vicarious Perceptions f Post-Traumatic Growth. (Master’s Thesis). Avalaible from ProQuest Disertations and Theses database. Diakses dari UMI NO. 1533599
  4. Martin & Jacob (2020). Optimizing healthcare provider wellness and posttraumatic growth. Diakses pada tanggal 8 November 2021 dari https://doi.org/10.1016/j.ajem.2020.08.066
  5. Tedeschi, R. G., & Calhoun, L.G (2013). Post Traumatic Growth in Clinical Practice. New York: Routledge Taylor & Fracis, LLC
  6. Tedeschi, R.G., & Calhoun, L.G. (2004). Post Traumatic Growth: Conceptual foundations and empirical evidence. Lawrence Erlbaum Associates, Vol. 15, No. 1, pp 1-18
  7. Tu, C., Crameri, G., Kong, X., Chen, J., Sun, Y., Yu, M., Xiang, H., Xia, X., Liu, S., & Ren, T. (2004). Antibodies To Sars Coronavirus In Civets. Emerging Infectious Diseases, 10(12), 2244

Artikel Lainnya!

06 Apr

Benarkah YOLO = Bahagia yang  Sesungguhnya?

by Lydia Kristiani S. Psi

Setiap orang punya hobi atau kegemaran akan sesuatu yang berbeda-beda. Bisa jadi berbelanja atau berwisata. Ketika orang tersebut tenggelam dalam kesenangannya, kerap terucap slogan, "You only live once!"  alias YOLO. Gaya hidup dengan patokan YOLO makin mudah dijumpai saat ini. Sesungguhnya,  YOLO mempunyai hubungan dengan kesehatan mental lho!

Read More
04 Apr

13 Cara untuk Menjadi Lebih Bahagia

by Anita Djie, S.Psi

Halo, Socconians!

Ketika menghadapi banyak masalah atau merasa suntuk dengan kehidupan sehari-hari, sangat wajar apabila kalian merasa sedih atau tidak bersemangat. Tapi, jangan berlarut dalam kesedihan, yuk! Jika emosi negatif tersebut tidak ditangani dengan baik, kesehatan mental kalian juga dapat terdampak.

Read More
21 Mar

Cara Meningkatkan Kualitas Hidup di Masa Pandemi

by Nadiah Cahyani, S.Psi.

Hi, Socconians

Kali ini, Social connect akan membagikan beberapa cara untuk meningkatkan kualitas hidup di masa pandemi, lho. Kira-kira apa sajakah itu?

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2022 All rights reserved.