• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
11 Oct

Stigma dan Dampaknya terhadap Pasien Bipolar Disorder

by Sherin Flaurensia, S.Psi

Hai, Socconians!

Penderita bipolar disorder di seluruh dunia mencapai sekitar 450 juta orang. Berdasarkan data dari Bipolar Care Indonesia (BCI), sebanyak 72.860 orang atau 2 persen penduduk Indonesia mengalami gangguan bipolar. Selain harus beradaptasi dengan kondisi dan perawatan mereka, penderita gangguan bipolar masih harus berjuang menghadapi stigma terhadap gangguan yang mereka miliki.

Hidup dengan gangguan bipolar memiliki beberapa tantangan dalam kehidupan sehari-hari, terkait dengan relasi sosial maupun dalam pekerjaan. Lingkungan sekitar sering kali berasumsi tentang kehidupan pasien bipolar berdasarkan stereotip yang salah. Tidak jarang, pasien bipolar mengalami diskriminasi dalam lingkungan sosial maupun pekerjaan. Beberapa orang bahkan memiliki stigma jika pasien bipolar tidak bisa bekerja dengan baik, merasa takut akan bahaya yang mungkin ditimbulkan dari perilaku pasien, atau ketidakmampuan pasien dalam membangun hubungan yang stabil.

Apa itu Bipolar Disorder?

Gangguan bipolar (bipolar disorder) merupakan gangguan yang melibatkan adanya perubahan suasana hati yang ekstrem. Perubahan suasana hati pada pasien bipolar biasanya terdiri dari episode hypomanic, manic, dan depressive.

Pada episode manic, pasien bipolar biasanya mengalami peningkatan mood yang memicu timbulnya gejala, seperti berkurangnya kebutuhan untuk tidur, fokus mudah teralihkan, dan lebih banyak bicara. Pasien bipolar cenderung sangat bersemangat, aktif terlibat dalam berbagai aktivitas, dan tak jarang dapat banyak dan mudah bicara pada orang asing di ruang publik selama episode manic.

Suasana hati pasien bipolar dapat dengan mudah berubah menjadi marah atau depresi. Gejala depresi dapat muncul selama episode manic dan bertahan selama beberapa waktu, jam, atau berhari-hari.

Stigma dan Dampaknya terhadap Pasien Bipolar Disoder

Stigma berisi karakteristik yang berhubungan dengan stereotip negatif pada masyarakat sehingga kelompok tertentu mengalami diskriminasi atau memiliki reputasi yang buruk bagi masyarakat. Stigma menjadi salah satu hambatan dalam proses perawatan dan penyembuhan gangguan mental, termasuk gangguan bipolar.

Stigma terhadap pasien bipolar, misalnya bahwa mereka “berbahaya”, “tidak terduga”, dan “tidak bisa sembuh” sehingga membuat masyakat sering kali menjaga jarak dan mendiskriminasi pasien bipolar dalam lingkungan mereka. Tak jarang, stigma juga membuat pasien bipolar merasa malu dan menyembunyikan fakta tentang diagnosisnya karena takut kehilangan pekerjaan atau mengalami diskriminasi di tempat kerja.

Stigma juga dapat bertransformasi menjadi self-stigma yang memperburuk keadaan pasien bipolar. Pasien bipolar yang seharusnya mendapatkan dukungan untuk tetap berjuang demi perawatan mereka, justru akan merasa putus asa (hopelessness). Self-stigma yang merupakan transformasi dari stigma masyarakat pada akhirnya akan tampak pada berkurangnya self-esteem sehingga pasien bipolar mungkin tidak dapat berfungsi dengan baik secara psikologis maupun sosial.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Edukasi tentang penyebab dan perawatan yang dibutuhkan pasien bipolar merupakan langkah awal untuk mengatasi timbulnya stigma. Memiliki informasi yang cukup tentang perawatan pasien bipolar akan mengurangi stigma masyarakat yang tercermin dalam perilaku menghindari pasien, persepsi terhadap tingkat bahaya, dan atribut terhadap tanggung jawab pasien bipolar atas kondisinya.

Selain itu, kita juga dapat mengubah mindset bahwa pasien bipolar tidak berbeda dibanding orang lain. Kita juga dapat menggerakkan kampanye atau membangun komunitas sebagai wadah sharing antarpasien bipolar. Pasien bipolar akan memperoleh dukungan emosional setelah saling berbagi dengan orang yang memiliki pengalaman yang sama. Pasien bipolar akan lebih dapat menghadapi berbagai isu terkait stigma masyarakat terhadap gangguan bipolar.

Nah, Socconians, ternyata stigma terhadap pasien bipolar berdampak besar terhadap proses kesembuhan mereka, ya. Yuk, beri dukungan kita sebagai bagian masyarakat untuk orang-orang di sekitar kita maupun pasien bipolar lainnya. Spread love, no hate. Sampai jumpa di artikel Social Connect lainnya!

Referensi

Penulis: Sherin Flaurensia, S.Psi

Editor Tata Bahasa: Rani Fatmawati

Sumber Tulisan: 

  1. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edition (DSM-V). Washington: American Psychiatric Publishing.
  2. Au. Man-Wong. Law. Wong. Chung. (2019). "Self-Stigma, Stigma Coping, and Functioning in Remitted Bipolar Disorder". General Hospital Psychiatry. 57. Hlm. 7-12. DOI: 10.1016/j.genhosppsych.2018.12.007
  3. Caleigh. Kristi. (2020). "Assessing and Adressing Stigma in Bipolar Disorder: The Impact of Cause and Treatment Information on Stigma". Stigma and Health. Vol. 5. Hlm. 104-113. DOI: 10.1037/sah0000181
  4. Gabe. (2017). “Facing the Stigma and Stereotypes of Bipolar Disorder”. Diakses pada tanggal 5 April 2021 dari situs web https://www.webmd.com/bipolar-disorder/features/blog-bipolar-face-stigma
  5. Marcia. (2019). “Living with Bipolar Disorder: Coping with Stigma, Daily Challenges, and More”. Diakses pada tanggal 19 April 2021 dari situs web https://www.verywellmind.com/coping-with-bipolar-disorde
  6. Rio. (2020). “Apakah Anda Mengidap Bipolar? Kenali Gejalanya”. Diakses pada tanggal 19 April 2021 dari situs web https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3448034/apakah-anda-mengidap-bipolar-kenali-gejalanya/

Artikel Lainnya!

14 Aug

4 Cara untuk Meningkatkan Self-Image Kita

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Self-image adalah bagaimana kita melihat diri kita sendiri secara baik atau buruk. Jika kita seringkali membanding-bandingkan diri kita dan membentuk sebuah pemikiran, “Kalau kita tidak sukses (seperti yang lain), kita tidak berharga”. Alhasil, self-image kita akan merosot. Berikut empat cara untuk meningkatkan self-image kita!

Read More
12 Aug

Meningkatkan Kualitas Hubungan: Know Yourself Better

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Apakah Socconians sudah mengenali diri kalian lebih baik? Dengan mengenali diri kita sendiri, kita bisa meningkatkan kualitas hubungan kita dengan diri kita sendiri, lho! Selayaknya ketika kita ingin berkenalan dengan orang lain, mengenali diri kita sendiri menggunakan pendekatan yang serupa.

Read More
10 Aug

Mengetahui Lebih Banyak Tentang Toxic Relationship

by Rizka Siti Nur Rachmawati, S.Psi

Socconians pernah dengar apa itu toxic relationship? Saat ini tidak jarang ditemui bahwa apa yang kita anggap tidak sehat belum tentu orang lain juga akan sependapat. Ada beberapa hal dasar yang perlu sama-sama Socconians ketahui tentang tanda-tanda hubungan toxic relationship. Yuk, simak selengkapnya di artikel berikut ini!

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2025 All rights reserved.