• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
15 Nov

Stigma Masyarakat terhadap Pasien Skizofrenia

by Aulia Hanifah, S.Psi

Stigma merupakan persepsi, cara pandang yang salah dari seseorang yang dilihat dari masyarakat. Stigmatisasi kerap diberikan oleh kelompok yang memiliki peran yang kuat terhadap suatu hal, termasuk salah satu kesehatan mental yang cukup tinggi di Indonesia, yaitu Skizofrenia. Karena kesalahan atau ketidaktahuan masyarakat terkait Skizofrenia tersebut, Social Connect akan menjelaskan kepada kalian, Socconians, tentang Skizofrenia. Dengan harapan bahwa persepsi masyarakat yang salah tentang Skizofrenia bisa berubah menjadi paham serta aware.

Skizofrenia termasuk ke dalam gangguan patologis yang tergolong kepada gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa berat memiliki ciri-ciri, yaitu adanya gangguan pada realistis seseorang dan juga gangguan pemahaman atas dirinya. Pasien dengan Skizofrenia atau dikenal sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) memiliki salah satu atau kedua ciri-ciri gangguan jiwa berat tersebut.

Skizofrenia memiliki gejala yaitu halusinasi, waham, gangguan emosi, gangguan motivasi, gangguan perilaku, gangguan neurokognitif, hingga gangguan proses pikir. Halusinasi merupakan gangguan persepsi. Halusinasi pada ODGJ bisa berbentuk suara atau bisikan, ataupun sosok yang dirinya sendiri hanya bisa melihatnya. Halusinasi adalah gejala pasti untuk pasien ini.

Sedangkan gangguan waham yaitu gangguan isi pikir, kesalahan yang mereka yakini dan sulit untuk diubah. Gangguan waham adalah pemikiran ODGJ tentang diri mereka, siapa dirinya, profesi diri, dan semua yang terlibat dalam pemikiran mereka. Gangguan waham saja tidak bisa dikatakan sebagai kizofrenia, harus dibarengi dengan halusinasi.

ODGJ memiliki emosi yang datar atau tidak sesuai dengan emosi yang seharusnya ia bawa, bahkan emosi yang berubah ubah saat di ajak bicara. Mereka pun tidak memiliki motivasi untuk melakukan apa pun kecuali arahan atau mengikuti halusinasi mereka. Terdapatnya gangguan perilaku membuat mereka kerap melakukan hal-hal yang kita anggap aneh karena berbeda dengan perilaku biasanya.

Proses penanganan pada penderita skizofrenia bisa dari berbagai andil, yaitu obat-obatan, lingkungan sosial, hingga keluarga. Respons dari luar bahkan mengambil peran paling tinggi untuk penderita skizofrenia. Ketidakmampuan mereka untuk melakukan kegiatan sosial yang membuat mereka semakin susah untuk sadar akan realitas. Dengan adanya pengawasan dari lingkungan terdekat atau keluarga, mengingatkan untuk minum obat dan membantu terapi pasien untuk berkegiatan sosial, serta dengan memberi semangat untuk dapat mengendalikan gejala, akan memberikan semangat kepada pasien untuk bisa berdamai terhadap kondisi mereka (deal with their condition).

Sebaliknya, stigmatisasi yang diperoleh oleh penderita skizofrenia dari lingkungan sekitar ini akan berpengaruh terhadap emosi, pandangan diri, dan pandangan pasien terhadap orang lain. Ini merupakan penghambat kesadaran pasien, bahkan memperburuk keadaannya. Bahkan, stigmatisasi yang berpengaruh terhadap keluarga pasien bisa menimbulkan rasa malu bahkan keluarga enggan membawa penderita skizofrenia ke tempat penanganan.

Jadi, sebagai orang yang sudah tahu akan skizofrenia, kita perlu mengambil peran untuk memberhentikan stigma yang terlanjur diberikan oleh masyarakat kita. Ayo, Socconians! Mari kita sama-sama memberikan andil untuk kesehatan mental masyarakat luas.

Referensi

Penulis: Aulia Hanifah, S.Psi

Editor Tata Bahasa: Rafi Damalis R.

Sumber Tulisan:

  1. Catherine van Z. Stigmatization as an Environmental Risk in Schizophrenia: A User Perspective. Schizophrenia Bulletin. 2009; 35(2): 293–296.
  2. Yudi Kurniawan, Indahria Sulistyarini. Komunitas SEHATI (Sehat Jiwa dan Hati) Sebagai Intervensi Kesehatan Mental Berbasis Masyarakat. Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental. 2016 Des; 1(2): 113-123
  3. Dilfera Hermiati, Resnia MH. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kasus Skizofrenia. Jurnal Keperawatan Silampari. 2018 Jun; 1(2): 78-91

Artikel Lainnya!

06 Apr

Benarkah YOLO = Bahagia yang  Sesungguhnya?

by Lydia Kristiani S. Psi

Setiap orang punya hobi atau kegemaran akan sesuatu yang berbeda-beda. Bisa jadi berbelanja atau berwisata. Ketika orang tersebut tenggelam dalam kesenangannya, kerap terucap slogan, "You only live once!"  alias YOLO. Gaya hidup dengan patokan YOLO makin mudah dijumpai saat ini. Sesungguhnya,  YOLO mempunyai hubungan dengan kesehatan mental lho!

Read More
04 Apr

13 Cara untuk Menjadi Lebih Bahagia

by Anita Djie, S.Psi

Halo, Socconians!

Ketika menghadapi banyak masalah atau merasa suntuk dengan kehidupan sehari-hari, sangat wajar apabila kalian merasa sedih atau tidak bersemangat. Tapi, jangan berlarut dalam kesedihan, yuk! Jika emosi negatif tersebut tidak ditangani dengan baik, kesehatan mental kalian juga dapat terdampak.

Read More
21 Mar

Cara Meningkatkan Kualitas Hidup di Masa Pandemi

by Nadiah Cahyani, S.Psi.

Hi, Socconians

Kali ini, Social connect akan membagikan beberapa cara untuk meningkatkan kualitas hidup di masa pandemi, lho. Kira-kira apa sajakah itu?

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2022 All rights reserved.