• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
18 Jul

Stop Self-Loathing: Melepas Belenggu Pikiran Negatif Terhadap Diri Sendiri

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Halo, Socconians!

Terkadang kita menemukan konten menyedihkan di media sosial yang kita akses setiap harinya. Konten-konten seperti indikasi depresi, kecemasan, dan tendensi untuk bunuh diri tidak jarang kita konsumsi. Akan tetapi, tahukah kamu, indikasi-indikasi tersebut bisa disebabkan oleh yang namanya self-loathing?

Istilah-istilah seperti self-loathing atau self-hatred merupakan tindakan ketika kita mengkritisi diri kita sendiri secara ekstrim. Contohnya, seperti ketika kita berkaca pada cermin dan kita seperti menghina diri kita sendiri, seperti kita tidak layak, kita tidak berguna, kita tidak pantas, dan banyak lagi. Kita cenderung untuk membenci apa yang kita lihat dalam diri kita sendiri dan mulai mengutuki diri kita yang ada dan berdiri sampai sekarang. Tidak jarang setelah kita menerapkan self-loathing atau self-hatred kita menjadi sedih, cemas, depresi, dan memiliki ide-ide untuk bunuh diri.

Socconians, tendensi ini merupakan hal yang buruk. Kalau Socconians mulai berpikir seperti di atas, hari ini kita akan membahas untuk mengurangi kebencian dalam diri kita terhadap diri kita sendiri untuk melepas belenggu pikiran negatif yang menjatuhkan kita di kemudian hari.

Seperti yang sudah dikatakan, self-loathing bisa berakibat pada kesedihan, kecemasan, depresi, hingga suicidal ideation. Hal ini bisa disebabkan oleh bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Ketika kita melihat kegagalan diri kita dan keburukan kita, perkataan-perkataan negatif berlarian di dalam pikiran kita dan berusaha untuk menjatuhkan diri kita sendiri. Menurut Cuncic (2022) dan menurut Clarke (2022), pikiran-pikiran ini bisa disebabkan oleh trauma, persepsi negatif terhadap diri sendiri, harapan yang tinggi kepada diri sendiri, tekanan sosial, dan kondisi mental. Trauma, ekspektasi terhadap diri sendiri, tekanan sosial, dan kondisi mental kita berperan besar dalam mengubah pandangan kepada diri kita sendiri menjadi buruk atau bisa digambarkan dengan rendahnya kepercayaan diri kita sendiri. Pada dasarnya, self-loathing juga berhubungan erat dengan rendahnya tingkat kepercayaan diri seseorang.

Dengan mengenali penyebab dari self-loathing, kita bisa menjabarkan penyebabnya dan kemudian bisa menerapkan tidakan. Yuk, kita kenali penyebab-penyebabnya!

1. Trauma

Self-loathing bisa diakibatkan oleh pengalaman masa lalu yang terjadi. Ketika kita mengalami kejadian seperti perundungan, kekerasan dari orang tua, bahkan seperti insiden yang menyisakan kita menjadi satu-satunya yang selamat dari kecelakaan bisa memunculkan pemikiran seperti, “kenapa saya?”. Pemikiran seperti ini wajar saja muncul karena insiden tersebut merupakan hal yang tidak terjadi pada seseorang.

Selain itu, trauma dari kekerasan secara fisik ataupun perkataan dari orang tua bisa juga menjatuhkan rasa percaya diri kita. Rasa ketidakberdayaan kita ketika terjadi kekerasan fisik membuat kita berpikir bahwa kita tidak bisa melakukan apa-apa. Kekerasan menggunakan perkataan pun tidak menghasilkan hasil yang berbeda jauh dengan kekerasan fisik.

Perundungan tidak banyak berbeda dengan kekerasan dan abuse yang dilakukan oleh orang tua kita di masa lalu. Hal yang membedakan hanyalah trauma yang kita dapatkan disalurkan oleh orang-orang sekitar kita, seperti teman-teman atau orang di sekitar kita. Perundungan dilakukan dengan tujuan untuk membuat orang lain merasa inferior atau lebih rendah dibanding perundung.

Trauma yang kita dapatkan juga tidak terlepas dari insiden hubungan dengan pacar atau sahabat. Ketika teman atau sahabat kita tidak menjadi tempat yang baik, malahan memberikan pengaruh negatif dalam pikiran kita, tendensi untuk mengutuki diri sendiri pun muncul. Kelakar atau canda tawa yang lucu bisa membuat kita di kemudian hari mengutuki diri kita sendiri ketika kita merasa rendah diri.

2. Ekspektasi Terhadap Diri Sendiri

Pada segmen trauma, perasaan inferior atau rendah diri muncul dari faktor luar. Namun, perasaan ini juga bisa muncul karena kita memiliki ekspektasi yang salah kepada diri kita sendiri. Tendensi untuk menjadi sempurna membuat diri kita gagal melihat hal yang baik dalam diri kita. “Mengapa saya tidak mampu melakukan hal yang mudah seperti ini?”, “Kalau saya tidak bisa melakukan ini, apa gunanya saya?”

Konsep memiliki ekspektasi yang ‘terlalu’ tinggi terhadap diri sendiri tertanam secara tidak sehat dan membuat kita memaksakan diri sendiri untuk menjadi sempurna. Lalu ketika kita tidak sempurna dan mengalami kegagalan, perasaan kurang pantas itu datang dan terasa seperti membuktikan bahwa kita layak untuk merasa inferior terhadap orang lain.

3. Tekanan Sosial

Ekspektasi dalam diri kita yang salah maupun ‘terlalu tinggi’ pasti muncul juga karena adanya tekanan sosial atau tekanan dari sekitar kita. Harapan untuk terus menjadi lebih baik tidaklah buruk. Akan tetapi, ketika kita dibandingkan dengan orang lain yang lebih ‘baik’, saat itulah posisi kita turun satu lantai dibandingkan dengan orang itu. Selain itu, perasaan untuk menyenangkan orang lain muncul agar bisa diterima dalam struktur sosial yang memiliki standarnya sendiri. Perasaan untuk menjadi sempurna dan diterima merupakan perasaan dasar dalam kehidupan sosial. Namun, ketika kita gagal untuk menyesuaikan diri dengan standar sosial yang ada, kita mulai merasa marah dan mulai membenci diri sendiri.

“Dia aja bisa ngelakuin ini, kenapa kamu engga?”, “Kamu coba produk ini, supaya cantik seperti dia,” “Kamu seharusnya melakukan ini, supaya sukses seperti dia”. Pada akhirnya, mentalitas untuk perlu menjadi lebih baik agar bisa diterima orang lain menjadi lubang kejatuhan kita yang terus menerus berulang. Kita tidak akan merasa cukup dan orang lain juga tidak akan merasa cukup dengan diri kita.

4. Kondisi Mental

Terakhir, self-loathing bisa disebabkan juga oleh rasa cemas yang berlebih dan perasaan depresi. Perasaan cemas bisa muncul ketika kita memiliki ekspektasi yang salah ataupun tinggi dan perasaan depresi cenderung membuat kita merasa tidak berdaya, bersalah, dan malu. Kondisi mental tidak selalu diakibatkan oleh self-loathing, sehingga hubungan antara kondisi mental dan self-loathing adalah timbal balik. Seseorang bisa saja mengalami insiden lain yang membuat kesehatan mentalnya tidak baik, sehingga mengalami self-loathing. Namun, seseorang bisa juga memiliki kesehatan mental yang tidak baik karena kebiasaan self-loathing.

Dengan membenci diri kita sendiri, merasa rendah diri sampai-sampai mengutuki diri kita sendiri, bisa berakibat pada hubungan dan masa depan kita. Dengan membenci diri kita sendiri, kita merusak hubungan dengan diri kita sendiri, merasa tidak percaya bahwa kita bisa melakukan hal-hal yang keren, amazing, bahkan yang bisa menolong orang lain. Selain itu, hubungan dengan keluarga, pertemanan, maupun hubungan romantic kita pasti terusik. Perasaan benci kepada diri kita sendiri membuat kita merasa tidak layak untuk dicintai. Kita juga cenderung untuk mengutuki diri sendiri secara terang-terangan di depan orang lain yang membuat orang lain merasa prihatin dan tidak enak. Selain itu, perasaan tidak cukup membuat kita merasa tidak pantas untuk menjalin hubungan baru dengan siapa pun itu.

Dengan melakukan self-loathing juga membuat kita merasa tidak pantas dalam membuat keputusan, sehingga kita menjadi labil (indecisive) bahkan kesulitan untuk membuat target dan tujuan dalam hidup kita. Hal itu dikarenakan kita merasa takut dan marah ketika kita tidak bisa memenuhi ekspektasi dari dalam maupun dari luar.

Maka dari itu, untuk melepas belenggu pikiran negatif yang berujung pada self-loathing, kita harus merujuk pada pusatnya, yaitu pikiran kita sendiri. Mudahnya, kalau self-loathing muncul karena pikiran negatif, berarti kita harus berpikir positif. Secara teori memang benar seperti itu. Namun, penerapannya bisa saja sulit dilakukan. Karena ketika kita dalam kondisi dikerumuni oleh pemikiran negatif, sulit untuk berpikir yang baik. Seperti ada awan gelap mengelilingi sebuah kota, sulit untuk kita mencari secercah cahaya di dalamnya.

Cara-cara yang kita bisa lakukan untuk menghindari pikiran negatif yang muncul dari trauma, ekspektasi, tekanan sosial, dan kondisi mental kita adalah dengan secara perlahan melakukan cara-cara, seperti melatih pikiran kita, menyadari kebaikan dan kekuatan kita, memberi dan juga menerima penghargaan untuk diri kita sendiri, dan berbaik hati kepada diri kita sendiri.

Kita bisa memulai dari melatih pikiran kita untuk membuang kebiasaan mengutuki diri sendiri dalam kelakar canda tawa maupun dalam kesedihan diri. Dengan membiasakan untuk tidak mengutuki diri kita sendiri, kita bisa mengubah gambar diri kita menjadi lebih baik. Apa yang kita katakan merupakan hasil dari kepercayaan (believe) yang kita punya. Ketika kita mengatakan bahwa “saya tidak berguna”, hal itu tertanam ke dalam pikiran kita dan bisa saja tumbuh menjadi kepercayaan yang kita pegang erat.

Kemudian jangan lupa untuk mengapresiasi diri sendiri, ya! Kita layak untuk dihargai karena usaha yang sudah kita kerahkan. Belajar untuk mengatakan “Kamu berhasil melakukan ini [Nama kamu]!”, atau “Hore, aku bisa ternyata!” Hal-hal kecil ini bisa membuat hati kita tenang dan bangga walaupun hanya sedikit. Jangan lupa juga untuk menerima apresiasi dari orang lain. Menerima apresiasi atas hal yang kita lakukan bukanlah kesombongan yang harus kita hindari. Ketika seseorang mengatakan “You did well!” artinya kamu usaha kamu memang menghasilkan sesuatu yang baik. Jangan ditolak ya, Socconians!

Lalu yang terakhir, yang sering kita dengar belakangan ini, berbaik hatilah pada dirimu sendiri! Nothing is perfect dan kamu tidak perlu untuk menjadi sempurna. Setiap insan manusia punya usaha mereka masing-masing untuk berkontribusi dan usaha masing-masing dari kita pasti berbeda. You are enough dan usaha yang kamu berikan itu sudah baik.

Self-loathing berpusar pada pemikiran kita sendiri. Jika kita mampu untuk mengontrol pemikiran kita, pastilah kita bisa untuk melepas belenggu pikiran negatif yang berujung kepada self-loathing. Kita harus belajar untuk menghentikan self-loathing demi diri kita sendiri, orang di sekitar kita, orang yang kita sayangi, dan masa depan kita. Melalui artikel ini kami mengajak sahabat Socconians untuk mengembangkan diri agar kita bisa menjadi lebih baik untuk diri kita sendiri di kemudian hari.

Tidak ada proses yang instan, bahkan dalam proses untuk menghentikan pikiran negatif yang berkeliaran di kepala kita. Maka dari itu, yuk, cek Social Connect untuk artikel pengembangan diri yang lainnya! Akhir kata, yuk, kita belajar secara perlahan untuk membuang kebencian kita dan melepas belenggu pikiran negatif dari pikiran kita!

Referensi

Nama Penulis : Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Editor Tata Bahasa : Raissa Amaris

Sumber Tulisan :

  1. Clarke, J. 2022. What is self-loathing? VeryWellMind. https://www.verywellmind.com/ways-to-stop-self-hatred-4164280
  2. Cuncic, A. 2022. ‘I Hate Myself': 8 ways to combat self-hatred. VeryWellMind. https://www.verywellmind.com/i-hate-myself-ways-to-combat-self-hatred-5094676#toc-how-to-combat-self-hatred
  3. Overton, P.G., Markland, F.E., Taggart, H.S., Bagshaw, G.L. & Simpson, J. (2008) Self-disgust mediates the relationship between dysfunctional cognitions and depressive symptomatology. Emotion. 8(3), 379-85. doi: 10.1037/1528-3542.8.3.379. PMID: 18540753.
  4. Pulcu, E., Zahn, R., Elliott, R. (2013). The role of self-blaming moral emotions in major depression and their impact on social-economical decision making. Frontiers in Psychology, 4. doi:10.3389/fpsyg.2013.00310 https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2013.00310/full
  5. Turnell, A.I., Fassnacht, D.B., Batterham, P.J., Calear, A.L. & Kyrios, M. (2019). The Self-Hate Scale: Development and validation of a brief measure and its relationship to suicidal ideation. Journal of Affective Disorders, 245, 779-787. doi: 10.1016/j.jad.2018.11.047.
  6. Ypsilanti, A., Gettings, R., Lazuras, L., Robson, A., Powell, P. A., & Overton, P. G. (2020). Self-Disgust is associated with loneliness, mental health difficulties, and eye-gaze avoidance in war veterans with PTSD. Frontiers in Psychology, 11. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.559883

Artikel Lainnya!

14 Aug

4 Cara untuk Meningkatkan Self-Image Kita

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Self-image adalah bagaimana kita melihat diri kita sendiri secara baik atau buruk. Jika kita seringkali membanding-bandingkan diri kita dan membentuk sebuah pemikiran, “Kalau kita tidak sukses (seperti yang lain), kita tidak berharga”. Alhasil, self-image kita akan merosot. Berikut empat cara untuk meningkatkan self-image kita!

Read More
12 Aug

Meningkatkan Kualitas Hubungan: Know Yourself Better

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Apakah Socconians sudah mengenali diri kalian lebih baik? Dengan mengenali diri kita sendiri, kita bisa meningkatkan kualitas hubungan kita dengan diri kita sendiri, lho! Selayaknya ketika kita ingin berkenalan dengan orang lain, mengenali diri kita sendiri menggunakan pendekatan yang serupa.

Read More
10 Aug

Mengetahui Lebih Banyak Tentang Toxic Relationship

by Rizka Siti Nur Rachmawati, S.Psi

Socconians pernah dengar apa itu toxic relationship? Saat ini tidak jarang ditemui bahwa apa yang kita anggap tidak sehat belum tentu orang lain juga akan sependapat. Ada beberapa hal dasar yang perlu sama-sama Socconians ketahui tentang tanda-tanda hubungan toxic relationship. Yuk, simak selengkapnya di artikel berikut ini!

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2023 All rights reserved.