• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
14 Jul

Bagaimana Rasanya Menjadi Korban Bullying di Sekolah?

by

Hai, Socconians!

Sekolah, selain sebagai tempat untuk menimba ilmu, kita juga bisa mengenal orang-orang hebat, membuat memori indah bersama, dan bertemu seseorang yang akhirnya menjadi sahabat hidup. Layaknya lirik lagu, bagi sebagian besar dari kita sekolah merupakan masa-masa paling indah. Namun, pernahkah Socconians sadari bahwa tidak semua orang mempunyai memori indah semasa sekolah karena mereka pernah dirundung? Yap, kali ini Social Connect akan membahas perasaan yang dirasakan oleh korban perundungan di sekolah dan bagaimana pentingnya peran mediator.

Sebelum masuk ke pembahasan, ada baiknya kita tanya kepada diri sendiri dulu, bagaimana bisa sih seseorang menjadi target perundungan? Coba deh Socconians ingat-ingat, pasti ada sebuah label yang diberikan oleh perundung untuk target mereka, umumnya seperti sebutan-sebutan yang berupa ejekan fisik, warna kulit, atau ras. Kadang juga berupa ejekan yang merujuk ke kepribadian, bagaimana korban berperilaku, dan orientasi seksual korban. Sering kali targetnya adalah orang yang ditafsir berbeda dari apa yang pelaku rasa normal.

Sedihnya, banyak orang menganggap alasan mengapa seseorang bisa menjadi target perundungan adalah karena korban layak untuk dirundung; bahwa itu salah korban karena memiliki perbedaan. Salah korban juga karena melakukan sesuatu yang memicu perundungan. Socconians, inilah yang dinamakan victim blaming, ya. Ini adalah sebuah miskonsepsi dari perundungan yang mana korban justru menjadi pihak yang disalahkan. Pada kasus perundungan, sebaiknya kita harus memahami bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku dan kenapa mereka bisa melakukan hal-hal tersebutlah yang seharusnya menjadi sorotan utama, bukan malah menyudutkan korban dengan anggapan-anggapan yang menyalahkan.

Lalu, bagaimana rasanya menjadi korban perundungan? Perasaan apa yang mereka rasakan? Sudah jelas perundungan adalah pengalaman yang tidak menyenangkan bagi siapa pun yang mengalaminya. Tentu tidak ada yang mau menjadi salah satunya, bukan?

Rentang emosi yang dirasakan oleh korban ada banyak, tetapi beberapa perasaan yang sering diasosiasikan sebagai akibat dari perundungan adalah anger (marah), fear (takut), rejected (perasaan ditolak oleh sekitar), sadness (sedih), dan shame (malu).

Dalam konteks perundungan, perasaan-perasaan ini bisa menjadi sebuah katalis atas tindakan yang bisa korban lakukan. Hal ini bisa berbahaya untuk korban perundungan, karena kondisi emosi usia anak sekolah belum sepenuhnya stabil. Sebagai contoh:

  • Anger atau amarah sering dikaitkan dengan aksi-aksi spesifik seperti perkelahian. Jika korban perundungan tidak mempunyai kemampuan self-defense yang memadai, tentu hal ini akan sangat membahayakan nyawanya sendiri.
  • Fear atau perasaan takut sebenarnya mampu menstimulasi korban untuk menjauhi situasi atau kondisi yang mempertemukannya dengan si pelaku, sehingga ini bisa menjamin keamanan mereka. Namun, hal ini tidak bisa menjadi solusi karena korban cenderung tidak mencari bantuan.
  • Rejected atau perasaan ditolak oleh masyarakat atau sekitar bisa membuat korban untuk mengisolasi diri dari sosial. Hal ini memengaruhi kualitas hubungan korban dengan teman dan guru serta mengganggu kinerjanya di sekolah.
  • Sadness atau kesedihan yang dialami korban bisa membuat mereka gelisah ketika berada di sekolah, di mana mereka harus bertemu dengan pelaku. Jika dibiarkan termanifes lama, bisa menyebabkan masalah kesehatan fisik (kurang tidur) dan mental (depresi).
  • Shame atau perasaan malu akan mendorong korban untuk tidak melindungi diri mereka sendiri, seperti membiarkan penghinaan terus terjadi. Korban juga memiliki tendensi untuk tidak melaporkan kejadian karena merasa malu.

Dalam beberapa contoh kasus perundungan, terkadang korban memang tidak melapor karena beranggapan bahwa tindakan perundungan merupakan guyonan atau hal "normal" yang terjadi untuk menjadi bagian dari lingkaran pertemanan mereka.

Luka batin tidak dapat dilihat dengan kasat mata dan kita pun terkadang tidak bisa menebaknya. Nah, peran mediator di sini sangatlah penting dalam memberikan dukungan untuk para korban perundungan. Sebagian besar kasus perundungan terjadi ketika seorang anak berada di luar pengawasan guru dan orang tua. Terlebih lagi jika perundungan itu adalah perundungan daring (cyberbullying), akan sulit untuk mengetahui kapan terjadinya perundungan tersebut. Oleh karena itu, ketika korban melapor atau kita sendiri yang mengetahuinya, ini benar-benar berperan penting untuk mencegah dampaknya.

Siapa saja yang bisa menjadi mediator? Orang tua, guru, kakak, sahabat, dan tentunya Socconians pun bisa menjadi mediator. Apa saja yang bisa Socconians lakukan sebagai mediator? Berikut adalah contoh yang bisa diterapkan:

  • Berempati. Tidak mudah bagi korban perundungan untuk melapor dan membagikan ceritanya ke orang lain. Jadi, jika mereka bercerita, berikanlah respons seperti, "Aku gak bisa membayangkan kalau aku ada di posisi kamu", "Wah, aku kagum kamu berani untuk cerita ini ke aku", atau, "Terima kasih ya kamu udah ceritain pengalamanmu ini ke aku". Intinya, lebih baik untuk tidak mencoba memperbaiki situasi yang mereka rasakan, melainkan berikan respons yang bersifat encouraging dan empowering.
  • Mendengarkan, baik dari sisi korban maupun sisi pelaku. Jika memang kamu mau ikut campur tangan, sudut pandang adalah hal yang esensial ketika mediator berusaha membantu menyelesaikan masalah perundungan.
  • Hindari memberikan pernyataan pernyataan yang terkesan menggampangkan atau bahkan menyalahkan korban perundungan, seperti, "Halah gitu doang, aku juga pernah kali", "Lupain aja sih", atau, "Lagian lu juga ngapain (seperti itu)". Apa pun opini Socconians, hal yang menimpa mereka itu bisa jadi masalah yang besar bagi mereka.
  • Pastikan korban tahu bahwa kita mendukung secara emosional, seperti, "Kamu nggak sendiri" atau, "Ini bukan salah kamu, kok."
  • Jika Socconians seorang guru atau orang tua, cobalah untuk mengajarkan pentingnya saling menghormati kepada anak. Buat suasana kelas atau rumah sebisa mungkin bebas dari bullying environment.
  • Jika korban mengalami trauma dan sepertinya membutuhkan bantuan profesional, ajak mereka untuk bertemu dengan psikolog, ya.
Referensi

Penulis : Adrian Daniarsyah

Editor-in-Chief : Hafiza Dina Islamy

Editor Medis : Anissa Nur Khalida, S.Psi

Sumber Tulisan : 

  1. Gordon, Sherri. (2019, Oktober 19). Understanding Bullying Victims. Diakses pada 2 Juli 2020 dari situs Very Well Mind.
  2. Jabeen, Fakhra, Hirzalla, Nizar A., Maaiveld, Thomas M., Gerritsen, Charlotte, & Treur, Jan. (2020). Victim no more: a temporal-causal analysis of how a mediator can help out a bullying victim. Journal of Information and Telecommunication. 4(2), 229-250. DOI: 10.1080/24751839.2020.1724739
  3. Sampaio, Julliane Messias Cordeiro, Santos, Gabriela Valente, Oliveira, Wanderlei Abadio de, Silva, Jorge Luiz da, Medeiros, Marcelo, & Silva, Marta Angélica Iossi. (2015). Emotions of students involved in cases of bullying. Texto & Contexto - Enfermagem. 24(2), 344-352. https://doi.org/10.1590/0104-07072015003430013

Artikel Lainnya!

14 Aug

4 Cara untuk Meningkatkan Self-Image Kita

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Self-image adalah bagaimana kita melihat diri kita sendiri secara baik atau buruk. Jika kita seringkali membanding-bandingkan diri kita dan membentuk sebuah pemikiran, “Kalau kita tidak sukses (seperti yang lain), kita tidak berharga”. Alhasil, self-image kita akan merosot. Berikut empat cara untuk meningkatkan self-image kita!

Read More
12 Aug

Meningkatkan Kualitas Hubungan: Know Yourself Better

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Apakah Socconians sudah mengenali diri kalian lebih baik? Dengan mengenali diri kita sendiri, kita bisa meningkatkan kualitas hubungan kita dengan diri kita sendiri, lho! Selayaknya ketika kita ingin berkenalan dengan orang lain, mengenali diri kita sendiri menggunakan pendekatan yang serupa.

Read More
10 Aug

Mengetahui Lebih Banyak Tentang Toxic Relationship

by Rizka Siti Nur Rachmawati, S.Psi

Socconians pernah dengar apa itu toxic relationship? Saat ini tidak jarang ditemui bahwa apa yang kita anggap tidak sehat belum tentu orang lain juga akan sependapat. Ada beberapa hal dasar yang perlu sama-sama Socconians ketahui tentang tanda-tanda hubungan toxic relationship. Yuk, simak selengkapnya di artikel berikut ini!

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2025 All rights reserved.