Stigma dan Dampak Stigma terhadap Pasien Bipolar Disorder

Hai, Socconians!

Tahukah Socconians, bahwa penderita bipolar disorder di seluruh dunia mencapai sekitar 450 juta orang? Berdasarkan data dari Bipolar Care Indonesia (BCI), sebanyak 72.860 orang atau 2% penduduk Indonesia mengalami gangguan bipolar. Selain harus beradaptasi dengan kondisi dan perawatan, penderita gangguan bipolar masih harus berjuang menghadapi stigma terhadap gangguan yang dimiliki.

Hidup dengan gangguan bipolar memiliki beberapa tantangan yang berhubungan dengan relasi sosial hingga pekerjaan. Lingkungan sekitar sering kali berasumsi tentang kehidupan pasien bipolar berdasarkan stereotip yang salah. Tak jarang, pasien bipolar mengalami diskriminasi dalam lingkungan sosial ataupun pekerjaan. Beberapa orang bahkan memiliki stigma jika pasien bipolar tidak bisa bekerja dengan baik, merasa takut akan bahaya yang mungkin ditimbulkan dari perilaku pasien, atau ketidakmampuan pasien dalam membangun hubungan yang stabil. 

Apa itu Bipolar Disorder?

Gangguan bipolar (bipolar disorder) adalah gangguan yang melibatkan adanya perubahan suasana hati yang ekstrem. Perubahan suasana hati pada pasien bipolar umumnya terdiri dari episode hypomanic, manic, dan depressive.

Pada episode manic, pasien bipolar biasanya mengalami peningkatan mood yang memicu timbulnya gejala, berkurangnya kebutuhan untuk tidur, fokus yang mudah teralihkan, serta lebih banyak bicara. Pasien bipolar cenderung sangat bersemangat, aktif terlibat dalam berbagai aktivitas, serta tak jarang banyak dan mudah berbicara dengan orang asing di ruang publik selama episode manic.

Suasana hati pengidap bipolar dengan mudah berubah menjadi marah atau depresi. Gejala depresi dapat muncul pada episode manic yang bertahan selama beberapa saat, jam, atau berhari-hari.

Stigma dan Dampaknya terhadap Pasien Bipolar Disoder

Stigma merupakan karakteristik yang berhubungan dengan stereotip negatif dalam masyarakat sehingga kelompok tertentu dapat mengalami diskriminasi atau memiliki reputasi yang buruk. Stigma menjadi salah satu hambatan dalam proses perawatan dan penyembuhan gangguan mental, termasuk gangguan bipolar.

Stigma terhadap pasien bipolar, seperti mereka “berbahaya”, “tidak terduga”, dan “tidak bisa sembuh”, membuat masyakat sering kali menjaga jarak dan mendiskriminasi pasien bipolar dalam lingkungan mereka. Tak jarang, stigma juga membuat pasien bipolar merasa malu dan menyembunyikan fakta tentang diagnosisnya karena takut kehilangan pekerjaan atau mengalami diskriminasi di tempat kerja.

Stigma juga dapat bertransformasi menjadi self-stigma yang memperburuk keadaan pasien bipolar. Pasien yang seharusnya mendapatkan dukungan untuk tetap berjuang demi perawatan justru akan merasa putus asa (hopelessness). Self-stigma yang merupakan transformasi dari stigma masyarakat pada akhirnya akan tampak pada berkurangnya self-esteem. Hal tersebut mungkin tidak dapat berfungsi dengan baik secara psikologis ataupun sosial.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Edukasi tentang penyebab dan perawatan yang dibutuhkan pasien bipolar merupakan langkah awal untuk mengatasi timbulnya stigma. Memiliki informasi yang cukup tentang perawatan pengidap bipolar akan mengurangi stigma masyarakat yang tecermin dalam perilaku menghindari pasien, persepsi terhadap tingkat bahaya, dan atribut terhadap tanggung jawab pasien bipolar atas kondisinya.

Nah, Socconians, ternyata stigma terhadap pasien bipolar berdampak besar terhadap proses kesembuhan mereka, ya. Yuk, beri dukungan kita sebagai bagian masyarakat untuk orang-orang di sekitar kita atau pasien bipolar lainnya. Spread love, no hate. Sampai jumpa di artikel Social Connect lainnya!

Referensi